Aku Mencegah Adikku Pacaran
Sebelumnya aku sudah pernah bilang kalau aku mengkhawatirkan adikku, Rahma, karena dia begitu.. ehem.. cantik, kan? Dan aku khawatir kalau banyak yang mengajaknya jadi pacarnya? Biar kutambah: Aku juga khawatir kalau pas dia mulai masuk sekolah lagi, dia bakal bikin anak-anak laki-laki smandak pada nggak bisa melepaskan pandangannya dari adikku itu.
Dan kekhawatiranku itu jadi nyata.
Hari ketigaku di smandak, Rahma menggemparkan seantero sekolah. Obrolan-obrolan dan bisik-bisik di sekitarku yang lebih intens daripada keributan ribuan lebah yang sarangnya diganggu bocah berandal ala Amerika cuma mengisyaratkan satu topik: Anak baru yang begitu cantik bagaikan bidadari kesasar di bumi.
Oke, mungkin itu berlebihan, soalnya yang menyuarakan itu para laki-laki mainstream–dalam bahasa Putra.
Tentu saja, anak-anak Kompas (Komunitas IPA Satu, aku baru dikasih tahu tadi pagi oleh Arbiarso) juga ikut membicarakannya. Tapi yang paling semangat tentu saja kaum Adam–dengan pengecualian aku (ya iyalah) dan Putra. Arbiarso, Aldi, dan Reza, mereka yang paling semangat bicarain Rahma. Kayak sekarang, mereka lagi ngumpul di meja paling belakang, ngobrolin sang Il Phenomenon.
“Za, cantikan mana anak baru itu sama si Ismi?” tanya Arbiarso.
Reza tampak menimbang-nimbang sebentar. “Gimana ya? Mau jujur takutnya si Ismi marah, euy.”
“Lah, orangnya nggak ada di sini, kok.” Kata Aldi cuek. “Kataku sih lebih cantik anak baru itu daripada si Ismi.”
“Heh, enak aja.” Gerutu Reza, tapi dalam sekejap air mukanya berubah. “Tapi iya juga, sih.”
“Buuu! Gak konsisten!” Arbiarso menyoraki Reza sambil melempari Reza dengan gumpalan kertas.
Jam pelajaran Bahasa Indonesia kosong, Bu Tina nggak tahu kemana. Nggak ada tugas pula. Jadi wajar kalau anak-anak pada bebas. Ada yang ngabur ke kantin, ke kelas lain, nongkrong di luar, ke masjid, atau paling mentok ngobrol di dalam kelas, kayak Arbiarso dkk. Aku sendiri cuma baca buku di kursiku, sementara Putra pergi ke tempat yang we-know-where. Sebenarnya dia mengajakku juga, tapi aku milih buat baca novel Hercule Poirot yang kupinjam dari perpus aja di kelas.
Aku hampir menyesal nggak ikut ajakan Putra, soalnya kelas penuh dengan omongan membosankan soal Rahma. Bahkan aku nggak bisa konsen buat baca. Apalagi tiga anak di belakangku ini, paling berisik.
“Eh, kira-kira dia udah punya pacar, belum?” tanya Reza.
Aku spontan menoleh ke belakang. Mataku disipitkan, yang selalu kulakukan kalau aku mendengar sesuatu yang nggak enak.
“Gak tahu. Mudah-mudahan aja belum.” jawab Arbiarso dengan nada penuh harap.
“Bah, itu si Hamni mau dikemanain?” timpal Aldi.
Arbiarso menoleh ke sekeliling, seolah memastikan kalau Hamni nggak ada di sekitar sana. “Ah, urusan gampang dia sih. Yang penting tahu dulu, si anak baru itu.. eh, siapa sih namanya?”
“Ah, kamu sih, nanya dia udah punya pacar apa belum, eh namanya aja gak tahu. Huuu!” Aldi menyoraki Arbiarso. Raut mukanya dan cara bicaranya menyatakan seolah dia baru saja mendengar seseorang mengatainya “Alien Budug”, tapi juga punya kesan kalau dia memang biasa begitu.
“Ya buruan lah, siapa namanya?”
“Kalau gak salah sih Rahma. Kelas XI IPA 1.” Jawab Reza.
“Rahma, ya? Yang penting mah tahu dulu si Rahma punya pacar atau nggak. Kesananya nanti gampang!”
Aku makin jengkel mendengarnya. Masa’ aku harus bikin si Arbiarso korban tendangan Tae Kwon Do-ku yang ke-17? Aku nggak suka rekor Anak Baru Yang Paling Cepat Menghajar Teman Sekelas Barunya dimuat di Buku Rekor MURI.
Reza nyadar kalau aku lagi memperhatikan mereka. “Oi, Renza! Sini, deh!”
Aku mengangkat alisku, tapi aku menutup bukuku dan pergi ke meja belakang.
“Eh, kamu udah tahu kan tentang anak baru itu? Katanya sih cantik banget, sayangnya belum lihat.” Kata Reza begitu saja pas aku berdiri di samping meja mereka.
Aku memasang ekspresi datar saja. “Ya, aku udah tahu. Kau pikir dia benar-benar cantik?”
“Ah, kalau si Ikiw yang ngomong sih nggak usah ragu. Masalah cewek mah dia nggak bisa bohong.” Jawab Arbiarso.
“Oh.”
“Secantik apa ya orangnya? Penasaran.”
“Oh ya, kok masuknya bisa hamoiur barengan ya sama kamu, Renza?” tanya Aldi. “Jangan-jangan kamu kenal, lagi? Atau dari sekolah yang sama?”
Reza dan Arbiarso spontan melontarkan tatapan ke arahku yang seolah bilang ‘Kasih tahu gak? Atau pulang sekolah nanti siap-siap bonyok!’
Aku mendengus pelan. “Ya, aku tahu dia.” Jawabku jujur.
Mata ketiga orang itu berbinar penuh harapan.
“Wah, yang bener nih, Ren?” tanya Reza.
Aku mengambil HPku dari kantong celana dan mencari-cari sesuatu.
“Ini orangnya.” Kataku sambil menunjukkan sebuah foto yang terpampang di layar HPku. Foto Rahma pas lagi liburan di Pulau Seribu, di pantai salah satu pulaunya.
Reaksi ketiga orang itu tepat sesuai dugaanku: Terpana. Aldi malah melongo begitu dalam, sampai-sampai kupikir dia kerasukan jin–atau memang itu ekspresi aslinya, aku nggak tahu.
“Ini sih bidadari nyasar di bumi.” Gumam Reza.
Arbiarso sadar paling cepat. “Eh, kamu kok bisa punya fotonya? Kamu teman sekolahnya? Atau..”
“Dia adikku.” Jawabku dingin.
Sontak mereka bertiga membeku.
“Adikmu?” tanya Arbiarso nggak percaya.
“Masa’ ah?” tanya Reza nggak yakin.
“Nggak bohong, nih?” tanya Aldi curiga.
Aku mendapat pelajaran baru saat itu: orang mabok susah buat percaya kebenaran selain versi mereka sendiri.
“Rahma Senja Meigawanti, usia 17 tahun, anak kedua dari 3 bersaudara, adik dari Arda Renzasvus Karvesczcseni dan kakak dari Reza Fajar Hardianto, asal sekolah SMAN 71 Jakarta, pindah ke Sukabumi karena mengikuti orangtuanya yang keduanya adalah dokter di RSUD Sekarwangi.” Aku menerangkan dengan agak seenaknya. “Ada yang kurang? Tanggal lahir? Aku nggak minat ngasih tahu kalian.”
Kayaknya aku mengucapkan itu lumayan keras, soalnya anak-anak lain di kelas berpaling memperhatikanku. Banyak di antara mereka yang juga memasang ekspresi kaget.
“Ya Allah, Rahma itu adik kamu?” tanya Ainun sambil menghampiriku. “Kamu punya adik secantik itu?”
Aku bosan mendengar kata ‘cantik’ yang keluar dari mulut anak-anak ini–mungkin kalian juga–, tapi kujawab saja, “Ya. Dia adikku.”
Anak-anak perempuan berbisik-bisik, entah apa yang mereka bicarakan. Sementara Arbiarso, Aldi, dan Reza nggak bersuara apa-apa lagi. Mungkin merasa nggak enak, bahwa orang yang mereka bicarakan dari tadi ternyata adik dari teman baru mereka.
“Dia nggak punya pacar, dan dia juga nggak kelihatan minat buat pacaran.” Kataku. “Dan aku sendiri nggak akan membiarkan orang yang menginginkan Rahma jadi pacarnya. Nggak akan kuizinkan.”
Aku menambahkan nada dingin dalam dua kalimat terakhirku, dan itu sukses membuat Arbiarso dkk makin nggak bersuara, serta membuat nada baru dalam bisik-bisik di kalangan anak-anak perempuan.
Aku kembali ke kursiku dan mulai baca lagi. Kuharap hari itu aku nggak mendengar omongan-omongan aneh lagi mengenai Rahma. Tapi tiba-tiba bayangan itu melintas lagi di kepalaku.
“Errgghh..” gumamku, menggeleng-gelengkan kepala.
Sialan, aku masih belum bisa menghilangkan bayangan orang yang kutabrak secara sangat-super-seperti-sinetron-sekali kemarin. Orang yang nggak kalah cantik dari Rahma, dan bahkan lumayan mirip.
“Dasar bodoh.” Makiku terhadap diriku sendiri, lalu aku mulai baca lagi.
***
“Rahma, kau sebaiknya jaga diri baik-baik.”
Aku lupa udah berapa juta kali aku mengatakan ini, tapi aku selalu saja merasa perlu untuk mengatakannya.
Rahma cuma mengangguk. Sepanjang perjalanan di angkot 09 itu, Rahma memang cuma diam saja, sambil sesekali membuka HPnya. Penumpangnya cuma kami berdua.
“Kakak tahu kamu bosan dengan kalimat barusan, tapi faktanya kau memang harus ekstra hati-hati. Di smandak pun anak-anak cowoknya nggak beda jauh sama di sekolahmu dulu.” Kataku. “Well, yang namanya laki-laki memang hampir semuanya sama sih, kalau udah berurusan sama yang namanya cewek.”
“iya, kak. Rahma paham, kok.” Katanya lembut, sambil tersenyum kecil.
Hari itu Rahma mengenakan kerudung segiempat putih, yang berpadu cocok dengan seragam SMAnya. Ekspresinya agak sendu dan raut mukanya lembut, dengan lesung pipi yang selalu muncul ketika dia tersenyum. Dan kalau Rahma senyum, kayaknya anak-anak smandak bisa saling jotos satu sama lain untuk bisa melihatnya.
Berlebihan? Mungkin iya, mungkin nggak. Soalnya itu belum kejadian, sih. Dan kalaupun di sekolah lamanya itu pernah kejadian, Rahma nggak pernah cerita.
Dan sekilas, Rahma kembali mengingatkanku (lagi) pada orang yang kutabrak secara-sinetron-banget kemarin itu. Agak mengejutkan bahwa mereka berdua agak mirip, meski warna kulit Rahma itu putih, bukan kecoklatan.
“Aaaggghhh!” gerutuku, sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan jengkel. Kenapa aku jadi ingat orang itu terus, sih?
“Kak? kenapa?” tanya Rahma, bingung.
“Eh? Ah, nggak. Bukan apa-apa.” Kataku. Rahma masih menatapku dengan nggak yakin.
Angkot menepi, dan dua orang cowok yang mengenakan baju seragam SMK naik ke angkot yang kutumpangi. Dari penampilannya, bisa kutebak kalau mereka bukan orang baik-baik. Muka kucel dengan raut yang menyebalkan (seolah ngajakin berantem setiap orang di sekelilingnya), rambut alay (kayak Andika mantan vokalis Kangen Band), celana ngatung, dan sepatu butut. Tas bahunya kempes, seolah nggak ada isinya. Keduanya duduk berseberangan, tepat di sebelahku dan Rahma.
Aku langsung meningkatkan kewaspadaanku.
Si Alay Nomor Satu menoleh ke arah Rahma.
“Eh, neng. Mau kemana?” katanya dengan nada yang dibuat-buat. Aku memicingkan mataku dan menatap Si Alay ini dengan tajam.
Rahma kelihatan terkejut tiba-tiba ditanya begitu dan bingung mau jawab apa. Dia menoleh ke arahku dengan tatapan Waduh, gimana ini, kak?
“Wah, si eneng ini pemalu, ya?” Si Alay Nomor Dua yang duduk di sampingku mulai ngoceh. “Sekolahnya dimana, neng geulis?”
Aku melemparkan pandangan Biar kakak yang urus pada Rahma.
“Ehem.”
Kedua alay berpaling padaku.
“Aya naon?” tanya Si Alay Nomor Satu dengan tajam.
Aku nggak tahu cowok itu ngomong apaan, tapi kujawab “Jangan macam-macam.”
Kedua alay itu bertukar pandang dan kembali menatapku dengan aneh.
“Eh, memangna maneh sahana awewe ieu? Balaga siah.” Kata SI Alay Nomor Dua. Nadanya ngancem.
“Dan bisa kau bicara dengan bahasa Indonesia saja? Aku nggak ngerti kalian ngomong apaan.” Balasku.
Si Alay Nomor Dua mendengus. “Ah, boloon sugan? Memangnya elu ini siapanya cewek ini, hah? Pacarnya? Belagak amat, lu!” Katanya sambil melotot.
Ekspresiku mengeras (aku tahu itu dari Rahma yang agak gelisah pas melihatku) dan aku balas menatapnya dengan dingin, sedingin yang aku bisa.
“Dasar bocah kurang ajar, baru juga ketemu sikapnya udah nggak tahu sopan santun. Diajar apa sih sama orangtuamu?” balasku.
“Heh, lu jangan bawa-bawa orangtua! Lu pikir lu siapa, hah?” gertak SI Alay Nomor Satu.
“Aku kakaknya cewek ini.” timpalku dingin.
Kedua orang itu tertegun. Sekurang ajar-kurang ajarnya seorang alay, dia nggak akan nekad nyari masalah kalau dia tahu orang yang di hadapannya adalah saudara dari orang yang coba digodanya. Apalagi aku sama sekali nggak kelihatan cupu. Alih-alih, aku siap menghajar mereka habis-habisan kalau berani macam-macam.
“Jadi,” aku mulai mengancam, “aku cuma ngasih kalian dua pilihan. Pertama, duduk menjauh dari adikku dan jangan coba-coba mengajaknya bicara lagi, soalnya aku tahu kalian bukan orang baik-baik. Atau kedua, kalau nggak mau mendengarkan yang pertama,” aku melemaskan jari-jari tanganku, “ kupaksa kalian keluar dari angkot ini.”
Mereka diam beberapa saat, lalu berdialog dengan bahasa Sunda, sehingga aku nggak ngerti apa yang mereka katakan. Tapi kelihatannya mereka sadar ancamanku bukan main-main dan memilih pilihan pertama. Si Alay Nomor Satu menjauh dari Rahma dan nggak ngomong apa-apa lagi sepanjang perjalanan.
Aku melemparkan tatapan Kayaknya kau perlu belajar Tae Kwon Do atau Karate atau apalah itu buat pertahanan menghadapi orang-orang model begini pada Rahma,yang selama sisa perjalanan juga nggak ngomong apa-apa lagi.
***
Sudah tiga hari berlalu sejak kedatangan Rahma, dan aku mulai melihat ada gelagat nggak beres dalam dirinya.
Beberapa kali kupergoki dia senyam-senyum sendiri pas lagi mainin HPnya (mungkin baca SMS, email, status facebook, apalah). Selain itu, dia juga kadang-kadang suka termenung sendiri dan salah tingkah pas ditegur dari lamunannya itu. Bahkan dia seirngkali melamun pas lagi belajar atau pas lagi makan, yang sebelum sekarang sama sekali nggak pernah terjadi. Bahkan ayahku juga menyadarinya.
“Rahma kenapa sih, Renza? Kok kelihatannya dia agak aneh ya, belakangan ini?” tanya ayahku. Kami berdua lagi benerin atap gazebo di taman belakang rumah.
Aku mengangkat bahu. “Entahlah, meski memang nggak biasanya dia kayak gitu.”
“Belakangan ini dia suka melamun, kadang sambil senyum sendiri. Pas ditanya, kelihatannya agak salah tingkah. Apa mungkin dia lagi suka sama seseorang?”
Untuk kedua kalinya dalam empat hari, aku merasa jadi orang paling bodoh sejagad. Kenapa aku nggak nyadar sama sekali kemungkinan itu? Apa gara-gara itu kemungkinan paling mustahil yang mungkin dialami Rahma?
“Coba deh kamu tanya dia, Renza. Kalau ayah sama ibu yang nanya, dia nggak mau jawab. Eh, tolong ambilin paku lagi, dong. Empat biji.”
Aku mengambil paku dan memberikannya pada ayahku.
“Tapi kalau misalnya benar, Rahma lagi suka sama seseorang, artinya dia ngeduluin kamu dong.” Kata ayahku.
“Hah?”
“Iya, kan? Kamu kan kayaknya belum pernah suka sama perempuan. Kalah cepat dewasa tuh sama adikmu.”
Aku melongo, sementara ayahku malah tertawa. Yah, waktu sekali-kalinya aku pacaran, orangtuaku memang nggak tahu. Dan kurasa aku nggak perlu memberitahunya sekarang.
“Terus, kalau emang bener apa yang ayah pikir, harus gimana?” tanyaku.
Ayah berhenti memalu dan menyeka keringat di dahinya.
“Kamu pikir gimana?”
Kok malah balik nanya? Pikirku.
“Well, aku.. eh..” aku nggak tahu harus bilang apa. Kalau aku membolehkan dia pacaran, kuatirnya bakalan ada masalah kompleks bla bla bla menimpanya. Kalau dilarang, kuatirnya malah jadi berontak dan tiba-tiba jadi pembangkang, karena merasa terus dikekang. Intinya, aku serba salah.
Ayahku tersenyum. Di usianya yang menjelang senja ini, beliau masih terlihat begitu kokoh dan kuat, meski aku nggak tahu gimana ceritanya kalau disuruh gulat sama Chuck Norris.
“Coba temukan jawabannya, deh. Ayah yakin kamu orang yang bijak.” Kata beliau, lalu kembali memaku papan yang longgar.
Aku garuk-garuk kepala. Ayahku memang paling suka menyembunyikan sesuatu dan membiarkanku nyari jawabannya sendiri. Bahkan gimana ayahku bisa menikah dengan ibuku sekalipun, ayahku merahasiakannya.
Dan aku juga bukan orang yang bijak. Sama sekali bukan. Tapi kayaknya aku tahu siapa orang yang bisa ditanyai buat masalah ini.
***
“Memang ada apa dengan adikmu?”
Putra baru saja sampai di kelas yang udah separuh terisi, Sebenarnya aku nggak enak juga, langsung nanya pendapatnya tentang keanehan adikku itu. Tapi aku nggak bisa menahan diri buat tahu secepatnya, apa yang seharusnya kulakukan.
Jadi aku menceritakan tentang sikap-sikap Rahma yang nggak biasanya itu. Dan seperti biasanya, Putra memerhatikan tanpa perubahan ekspresi apa-apa.
“Ya, indikasi bahwa adikmu itu lagi suka sama seseorang itu memang kuat.” Gumamnya.
“Terus?”
“Terus apa?”
“Harus gimana, kira-kira? Aku bingung, antara membiarkannya atau melarangnya buat pacaran. Kayaknya ini memang pertama kalinya dia menunjukkan rasa suka sama cowok, sih.”
Putra menyandarkan diri ke kursinya dan melipat tangan di depan dadanya.
“Yah, aku sering menghadapi kasus begini. Dan aku selalu punya jawaban sama.” katanya. “Tapi, bedanya dengan jawaban sejenis, landasannya bukan masalah maslahat dan mudharat, atau untung dan rugi. Masalahnya bukan cuma itu.”
***
Jam pulang sekolah, aku nggak langsung cabut ke rumah atau ke masjid TM. Karena hari itu hari Sabtu, jadi sekolah bubar jam dua siang. Aku langsung menemui Rahma yang udah nunggu di dekat kelas IPA 3. Dan kayak biasanya, dia lagi senyam-senyum sendiri sambil mainin HPnya. Kalau itu bukan Rahma, yang aku tahu indikasi masalahnya, aku pasti mikir dia lagi stres gara-gara PR Matematika-nya Bu Tuti yang sukses bikin begadang semalaman dan lagi berusaha menghibur diri dengan buka situs 9gag.
“Hei!”
Rahma kellhatan kaget dan salah tingkah lagi, entah untuk keberapa ribu kalinya.
“Eh, iya kak?”
Aku mendengus. “Kebiasaanmu belakangan ini. Ada apa sih, sebenarnya?”
“Ah, nggak ada apa-apa kok, kak.” elaknya. “Oh ya, pulang sekarang aja?”
“Nanti aja, masih jam dua, kok. Istirahat aja dulu.”
Aku duduk di kursi panjang di depan kelas IPA 4. Rahma nggak ada pilihan kecuali ikut duduk.
“Kamu kenapa, sih? Belakangan ini agak aneh. Suka senyam-senyum, cengar-cengir sendiri nggak jelas kayak tadi. Stres gara-gara PR Matematika dan Fisika yang bikin begadang semalaman?”
Aku tahu itu pertanyaan nonsense banget. Dia nggak perlu begadang cuma buat ngerjain PR Matematika dan Fisika.
“Nggak kok, Kak. Beneran, deh.”
“Terus kenapa? Dapat SMS dari orang yang kamu suka?”
Berhasil. Rahma kelihatan tersentak kaget. Raut mukanya menunjukkan ketidakpercayaan tingkat tinggi, seolah peti rahasianya berhasil dibongkar oleh orang yang baru kemarin sore belajar otak-atik gembok.
“Eh, aku..”
“Nah. Bener, kan? Atau mungkin lagi lihat status facebook-nya, yang sekarang dimasukin ke daftar teman dekat, atau mungkin nengok Timeline twitter-nya, atau blognya, atau apalah itu. Ngaku sajalah, indikasinya udah jelas banget, kok. Dan kakak lihat juga statusmu jadi agak-agak alay-ababil-galau gitu, nggak biasanya. Sama sekali bukan kamu yang biasanya.”
Rahma nggak menjawab. Kayaknya udah skak-mat.
“Jawab jujur aja, nggak ada yang bakal marah, kok.”
Di sebelahku, beberapa anak kelas XII bisik-bisik sambil melihat kami berdua. Mungkin merasa aneh gara-gara ada dua anak baru beda tingkat kok bisa duduk berduaan dalam waktu cuma empat hari. Mereka pasti belum tahu kalau kami saudaraan, tapi kuputuskan buat mengurusinya lain kali.
Rahma masih tertunduk. Kalau dari jauh, mungkin ini mirip dengan adegan sinetron dimana si cowok minta kejelasan dari si cewek yang diduga selingkuh (hal paling menjijikkan dari hubungan antara cowok-cewek, atau laki-laki dan perempuan, sama aja lah). Sayangnya, kami bukan pasangan dan aku lagi nggak nanya masalah selingkuhan.
“Iya, kak. Apa yang kakak bilang itu bener.” Katanya pelan.
Aku menghela nafas. “OK, jadi kamu lagi suka sama cowok. Siapa dia?”
Rahma butuh waktu tiga menit dua puluh dua detik sebelum menjawab, “Teman sekelas.”
“Namanya?”
Dia menggeleng. Kayaknya dia kuatir diamuk atau gimanalah, kalau ngasih tahu namanya. Aku memutuskan buat nggak maksa dulu saat ini.
“Terus, kamu diajak pacaran sama orang itu?”
Aku nggak kaget pas Rahma menganggukkan kepala.
“Dan kamu belum jawab?”
Rahma menggeleng lagi, yang bikin aku agak kesal. Pendiam sih pendiam, tapi kalau cuma dijawab pakai isyarat begini aku jadi ngerasa kayak polisi sadis yang lagi interogasi tersangka pembunuhan.
“Kenapa?”
“Aku ragu, kuatirnya kakak melarang. Ayah dan ibu juga.”
“Menurutmu kakak akan melarangnya?”
Rahma menoleh ke arahku, “Jadi kakak nggak akan melarang?”
“Kakak nggak bilang gitu. Kakak cuma nanya, menurutmu kakak bakal melarang kamu pacaran?”
Raut optimisme yang sedikit muncul di wajah Rahma buyar lagi. “Iya, aku pikir kakak bakal melarangku.”
“Menurutmu sendiri pacaran itu gimana, sih? Kenapa kamu pengen pacaran?”
“Ya.. aku..” Rahma agak ragu menjawab.
Aku diam saja, nunggu sampai Rahma menjawab.
“Ya.. aku ingin ada yang perhatian..”
“Jadi menurutmu ayah, ibu, kakak, dan Reza kurang perhatian padamu, gitu?”
“Bukan! Bukan itu!” Rahma buru-buru mengelak. “Maksud Rahma.. biar ada yang menyemangati Rahma juga kalau pas belajar..”
“Omong kosong. Ada atau nggak ada dukungan, kamu selalu berprestasi.”
“Tapi sebenernya.. nanti pacarannya juga nggak ngapa-ngapain kok, kak.”
“Lah, pacaran itu bukannya udah ngapa-ngapain?”
“Bukan itu! Maksudnya, ya paling kita cuma saling kirim SMS atau ngobrol di dunia maya aja, kok.. Nggak sampai kayak.. yah, yang kayak di sinetron gitu lah.”
“Lah, emangnya yang kayak gitu harus pacaran dulu? Kalau cuma SMSan sih, kakak sama teman sekelas kakak juga sering. Nanyain jarkom sama PR. Nggak harus pacaran dulu.”
“Tapi kan nggak sering-sering juga..”
“Nah, kalau memang jarang, berarti nggak apa-apa kan kalau nggak saling SMSan juga? Nggak ngaruh, toh.”
“Ya.. maksudnya..”
“Definisi pacaran apa, sih?”
Rahma kelihatan kehabisan kata-kata.
“Kamu sayang sama dia? Atau mungkin dia yang sayang sama kamu?” tanyaku nggak sabar.
Rahma mengangguk.
“Lah, kalau ngajak pacaran sih bukan sayang, namanya! Justru ngajakin ke neraka!”
Rahma tersentak lagi. Soalnya jawabanku mengandung kata yang ada di daftar Kata Paling Jarang Digunakan Renza nomor delapan: Neraka.
“Loh? Kok?”
“Ya iyalah. Kalau dia benar-benar sayang sama kamu, dia nggak bakalan ngajakin pacaran. Dia nggak akan mau menyentuhmu atau dekat-dekat denganmu, apalagi lebih dari itu. Nggak akan. Kamu belum halal buatnya.”
Rahma makin melongo.
“Agamamu Islam, kan? Tuhanmu Allah?”
Ekspresi Rahma menunjukkan bahwa dia benar-benar nggak ngerti dengan apa yang kukatakan. Dia nggak menangkap maksudnya.
“Kalau, kita memang mengaku beragama Islam, Tuhannya Allah, dan Rasulnya Muhammad Shallalahu ‘alaihi wassalam, apa kewajiban kita?”
“Me.. menaati?”
“Nah. Konsekuensi dari iman pada Allah, iman pada Rasul, itu artinya kita wajib taat kan?”
“Iya..”
“Jadi gimana kalau Allah yang melarang pacaran?”
Untungnya Rahma tahan banting terhadap pertanyaan-pertanyaan baru yang hampir nggak pernah didengarnya selama ini. “Loh? Emang iya?”
Aku buka al-Qur’an Terjemahan yang kupinjam sementara dari kelas, dan kubuka di surat al-Isra’ ayat 32.
“Ini. ‘Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk’. Kamu tahu apa maksudnya?”
“Er..”
“Ya, jadi jangan melakukan apapun yang perbuatannya mendekati zina. Kayak gimana? Zina itu biasanya gara-gara interaksi yang berlebihan kan antara cowok sama cewek? Itu temanmu yang sampe dikeluarin dari sekolah gara-gara ketahuan hamil mulainya dari mana bisa kayak gitu? Dia pacaran, kan?”
“Bener sih, kak. Tapi kan aku nggak sampai segitunya..”
“Ya mendekati zinanya aja nggak boleh, kok. Sementara pacaran bisa aja mengantarkan pada zina. Kemungkinan besar. Coba deh kamu pikir, dari mana awal anak-anak SMA atau anak-anak kuliahan pada zina sampai hamil di luar nikah gitu? Dari pacaran, kan? Mereka pacaran? Nggak setiap pacaran berujung pada zina, tapi yang namanya zina hampir pasti disebabkan oleh pacaran.”
Rahma nggak bisa ngomong apa-apa.
“Coba aja pikirin. Ada nggak aktivitas dari pacaran yang nggak mancing zina? Yang nggak ngundang nafsu? Pegangan tangan? Sayang-sayangan? Kangen-kangenan? Nggak ada kan yang nggak bikin nafsu? Lah deg-degan gara-gara itu aja udah termasuk nafsu, kok.”
“Mata, mulut, dan pikiran juga bisa zina, loh. Zina mata pas kamu melihat.. yah, kau-tahu-apa. Mulut pas kamu bilang kata-kata sayang dan sejenisnya, dan pikiran waktu kamu membayangkan dalam pikiranmu. Itu juga termasuk. Itu ada keterangannya di hadits.. ngg.. sebentar..”
Aku ngambil dari tasku, fotokopian Ringkasan Shahih Bukhari-Muslim yang kupinjam lagi dari kelas dan nunjukin haditsnya yang udah kutandai ke Rahma. Yang ditunjukin cuma diam, nggak tahu mau merespon apaan.
“Kalau mau bilang kalau nyari pacarnya yang shaleh, pertanyaan kakak, kalau shaleh ngapain pacaran? Dia pasti tahu diri, nggak mau ngajak orang ke neraka. Pacaran Islami? Jadi pacarannya di bawah bedug, diawalin sama basmalah, diakhiri sama hamdalah? Wah, ngelawak tuh kalau ada yang bilang pacaran Islami. Kalau pacarannya supaya ada yang ngingetin buat shalat? Atau jadi motivasi buat shalat tahajud dan sebagainya? Kamu ngerti kan yang namanya ikhlas? Niat karena Allah? Kalau kamu shalat tahajud karena orang lain, itu ikhlas nggak namanya?”
Rahma nggak jadi ngomong, setelah sadar kalau apa yang mau dikatakannya udah dipatahkan duluan.
“Dan kalau ditinjau dari sejarah, pacaran itu asalnya dari budaya orang Kristen Katolik. Jadi awalnya.. ngg..” aku berusaha mengingat-ingat, “Oh ya. Pernikahan dalam Katolik itu kan nggak bisa dipisahkan, bahkan kalau cerai harus minat izin dari Paus dulu di Vatikan sana, dan itu juga belum pasti dikabulkan. Nah, ini jadi kesulitan buat mereka kalau menikah tanpa benar-benar ngenal terlebih dahulu. Kalau misalnya gagal gara-gara salah pilih orang dan pengen cerai, nggak tahu harus nunggu berapa abad dulu buat dapat izin dari Paus. Ya, itu juga kalau diizinin. Kalau nggak? Makanya mereka pacaran, dengan tujuan biar tahu dulu kayak gimana calon pasangan mereka. Tapi interaksinya kayak yang udah nikah aja, bedanya belum ada ikatan resmi. Itu yang parah.”
“Kalau nggak salah, Pak Sulaiman–guru agama kakak dulu–pernah bilang tentang jangan ngikutin budaya non-Islam. Itu dari hadits, yang isinya itu..” aku coba mengingat-ingat penjelasan itu, “Ah! ‘Barangsiapa mengikuti suatu kaum, maka ia termasuk ke dalamnya’. Nah, itu. Kenapa itu dilarang? Soalnya itu termasuk aspek pergaulan, interaksi, yang mana udah ada aturannya dalam Islam. Kalau yang namanya teknologi kayak HP dan laptop itu produk sains, yang nggak ada hubungannya sama aturan manapun. Makanya boleh-boleh aja sekalipun itu asalnya dari Barat, non-Islam.”
Rahma kelihatan patah semangat ketika tahu argumennya dibantah lagi sebelum sempat dikatakan.
Aku menepuk bahu Rahma. “Ingat, Rahma. Kamu itu muslimah, yang harusnya jadi bidadari dunia. Dan bidadari nggak seharusnya dipermainkan seenaknya oleh cowok. Apalagi kalau kayak Joko.. apa namanya? Joko Tingkir? Yang legenda itu? ah, pokoknya itu, lah.”
Aku melihat Rahma kayak yang lagi merenung.
“Kamu ini mutiara yang sangat berharga. Artinya apa? Kamu nggak bisa seenaknya disentuh orang yang nggak ada jaminan sama sekali untuk membelinya. Kamu bukan sandal jepit murahan yang dijual di pinggir jalan, yang bisa dilihat dan dipegang-pegang sesukanya, terus ditinggalin begitu aja kalau si calon pembeli nggak suka. Nggak, kamu jauh lebih berharga daripada itu. Jangan merusak kemuliaanmu sendiri dengan pacaran. Dan kalau memang dia cowok yang tanggung jawab, berani, dan nggak banci, dia bakalan ngajak nikah, bukan pacaran yang jelas sekali diharamkan.”
“Nikah?” Rahma agak terperanjat dengan pernyataanku itu.
“Yah.. secara yang namanya administrasi sekolah itu susah, nggak bisa yang masih sekolah itu nikah, ya nggak mungkin lah buat saat ini. Jadi nggak usah mikirn hal-hal kayak gitu buat sekarang sih. Memang, godaan bakalan ada. Makanya aku ngerti kenapa anak-anak rohis pada nunduk semua kalau jalan.”
“Kenapa?”
“Menundukkan pandangan. Istilahnya god.. ah, kakak lupa. Jaga pandangan sama lawan jenis, itu esensinya. Sama jaga interaksi, jadi mereka nggak pada ngobrol atau apalah sama lawan jenis mereka kalau nggak ada perlu. Benih-benih virus di hati itu muncul gara-gara sering interaksi, kan?”
“I, iya sih..”
“Kakak melihat dimana-mana pacaran itu sama. Gitu-gitu juga. Awalnya aja sayang-sayangan. Kesananya? Yang ada malah sering ribut. Sering galau, berantem cuma gara-gara hal nggak jelas kayak ‘kamu nggak perhatian sama aku!’ atau ‘kamu udah gak sayang lagi ya sama aku?’ dan kalimat sejenisnya yang bikin kakak mau muntah. Yang pacaran itu juga sebenernya belajar jadi tukang tipu. Nggak apa adanya. Dia pasti cuma mau nunjukin sisi baiknya aja, dan nyembunyiin sisi jeleknya rapat-rapat. Pas kebongkar? Pacarnya bakal nyesel setengah mati dah, yakin.”
“Akhirnya malah jadi stres, galau, pusing nggak jelas, sampai curhat aneh-aneh di facebook atau twitter. Gara-gara itu, sampai muncul istilah baru yang namanya ‘move on’. Kakak nggak tahu sejak kapan dan dari mana istilah ‘move on’ itu muncul. Yang jelas, itu cuma digunakan oleh anak-anak stres-depresi-frustrasi akibat sesuatu yang bernama pacaran. Hidupnya bener-bener menyedihkan dan nggak pantas dialami oleh seorang muslimah.”
“Eh? Ngg.. Jadi..”
“Kalau masih keganggu juga ya.. banyakin puasa aja deh. Sama rajin-rajin berdoa, ‘Sesungguhnya aku berlindung pada Allah dari godaan cowok tukang gombal’.” Tutupku cuek. Aku bangkit dan meregangkan tanganku yang pegal. “Pulang, yuk.”
Rahma masih diam aja di kursi. Kepalanya nunduk, ekspresinya galau. Kayaknya pikirannya lagi coba memroses apa yang baru aja didengarnya. Nggak tahu mana yang lebih ajaib, apakah apa yang kusampaikan ataukah fakta bahwa aku menyampaikan hal itu.
“Rahma?”
“E, eh? I, iya kak?” Rahma tersentak dari lamunannya, entah udah yang keberapa kalinya hari ini. “Oh, ya. Sebentar.” Lalu dia pun bangkit.
“Terus, aku harus bilang apa, kak? Sama.. orangnya.” Rahma masih nggak berani nyebut nama orangnya. Mungkin masih kuatir aku bakalan melepaskan tendangan Tae Kwon Do-ku ke orang itu, padahal aku lagi nggak ada niat sama sekali buat melakukannya. Seenggaknya buat saat ini.
“Ya bilang aja kamu menolak ajakannya buat pacaran. Jelasin baik-baik aja, jangan pake acara orangnya ditimpuk pake penghapus papan tulis juga.” aku ingat satu hal lagi, “Dan alasannya juga harus jelas. Bahwa kamu menolak buat pacaran karena Allah melarangnya, karena ini konsekuensi bahwa kamu beriman pada Allah. Bahwa kamu ini seorang muslimah yang mulia, permata yang begitu berharga, yang hanya boleh disentuh oleh orang yang halal untukmu.”
Dan kali ini cuma nunggu tiga puluh dua detik buat nunggu Rahma mengangguk.
Aku tersenyum. “Yuk ah, pulang dulu.” Kataku sambil berlalu. Rahma segera mengikutiku, dengan diiringi tatapan aneh dari anak-anak IPA 2, 3, dan 4. Dan karena aku lagi nggak terlalu berminat ngasih ta..
“Hei, Renza!” panggil seseorang di belakangku.
Aku menoleh ke arah suara. Anak cowok dari IPA 2 yang manggil, ternyata.
“Kesini sebentar, deh.” Katanya.
Aku ngasih isyarat ‘Tunggu sebentar’ ke Rahma dan langsung menghampiri si pemanggil.
Orang itu merangkulku dan menarikku membelakangi Rahma. “Kamu siapanya cewek itu? Pacarnya?”
Walah, walah. Belum juga ngenalin diri, udah main nanya gitu aja. Gara-gara itu, aku cuma menggeleng dengan enggan.
“Terus siapanya? Teman satu sekolah?” tanyanya lagi.
“Dia adikku. Dan tolong kasih tahu yang lain juga, yang dari tadi kayaknya masang muka panas, cemburu, kesal, apapun itu. Bilangin ke mereka kalau aku kakaknya Rahma. OK?” jawabku. “Tapi siap-siap aja patah hati, soalnya hatinya udah dibooking sama seorang pangeran.”
Aku melemparkan senyum jahil ke si penanya itu dan balik menghampiri Rahma.
“Yuk ah.” Ajakku. Dan kami pun berlalu, meninggalkan si penanya dan teman-temannya yang masih bengong.
Dalam hati, aku benar-benar bersyukur udah menanyai Putra tadi pagi. Untung aja sifat pelupaku nggak muncul kali ini, jadi aku bisa inget semua yang dikatakan Putra tadi pagi dan menjelaskannya ulang pada Rahma. Dan sebenarnya, aku benar-benar kayak disambar petir (nggak sampai cetar membahana, sih) pas dikasih tahu bahwa pacaran itu haram. Aku jadi nyesel dulu pernah jadian sama Meila, meski cuma dua bulan. Makanya aku agak ragu juga pas mau menjelaskan itu ke Rahma, mengingat dulu aku juga pernah pacaran. Untunglah, kayak kedua orangtuaku, dia juga nggak tahu bahwa aku dulu pernah pacaran.
Alhamdulillah, ternyata aku dapat ilmu bermanfaat dari Putra. Benar juga kata ayah, Putra memang suka menularkan ilmunya pada orang lain, apalagi ilmunya yang memang bermanfaat dunia-akhirat. Meski nggak semua bagian yang disampaikannya aku benar-benar mengerti, tapi itu lumayan, lah.
Dan aku yakin masih ada banyak yang bisa dieksplor darinya, si misterius itu.
***
Sumber : https://www.facebook.com/notes/andhika-putra-dwijayanto/area-5-aku-mencegah-adikku-pacaran/10151430777044177
Kok ada nama Arbiarso nya ya? Hahaha
BalasHapus