Bahaya Ghibah Terhadap Ukhuwah Islamiyah
Oleh : Ali Farkhan Tsani*
Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya kepada para sahabatnya :
أَتَدْرُوْنَ
مَا الْغِيْبَةُ؟ قَالُوْا: اَللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ:
ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، قِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ
أَخِيْ مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ
اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Artinya
: “Tahukah kalian (wahai para sahabat) apakah yang disebut ghibah itu?”
Mereka (para sahabat) menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih
mengetahui.” Beliau bersabda, “(Ghibah) yaitu engkau menyebut saudaramu
(sesama muslim) sesuatu yang dibencinya.” (Kemudian) sahabat bertanya,
“(Ya Rasul) bagaimana halnya jika apa yang aku katakan itu (memang)
terdapat pada saudaraku?” Beliau (pun) menjawab, “Jika apa yang kamu
katakan itu (memang) terdapat pada saudaramu, maka (itulah berarti)
engkau (memang) telah menggunjingnya (melakukan ghibah), (namun
sebaliknya) jika apa (yang kalian katakan) itu tidak terdapat padanya,
maka engkau telah berdusta (membuat fitnah) terhadapnya.” (Hadits Shahih
riwayat Muslim).
Astaghfirullahal
‘adzim. Ya Allah, seringkali terdengar di tempat kerja, di ruang minum
kopi, di rumah, bahkan di majelis pengajian, seorang kaum muslimin
menggunjing saudaranya sesama muslim tanpa merasa berdosa sedikitpun.
Mereka asyik dengan gunjingannya itu, dan puas mengupas tuntas
kejelekan, kelemahan, dan kesalahan saudaranya, yang semestinya
dicintai, dikasihi dan dijaga nama baiknya karena Allah.
Padahal,
kalau kita melihat bagaimana Allah menggambarkan menggunjing itu dengan
suatu yang amat kotor dan menjijikkan, yaitu bangkai. Bagaimana Allah
menyebut di dalam firman-Nya yang Mahamulia :
ياَيُّهَا
الَّذِيْنَ امَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مّنَ الظَّنّ، اِنَّ بَعْضَ
الظَّنّ اِثْمٌ وَّ لاَ تَجَسَّسُوْا وَ لاَ يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا،
اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا
فَكَرِهْتُمُوْهُ، وَ اتَّقُوا اللهَ، اِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, jauhkanlah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging (bangkai) saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Al-Quran Surat Al-Hujurat [49] ayat 12).
Pengertian Ghibah
Secara bahasa,
kata “ghibah” (غيبة) berasal dari akar kata “ghaba, yaghibu” (غاب يغيب)
yang artinya tersembunyi, terbenam, tidak hadir, dan tidak tampak. Kita
sering menyebut “ghaib”, tidak hadir.
Syaikh
Muhammad Shalih Al-Munajjid menyimpulkan bahwa ghibahadalah menyebutkan
sesuatu yang terdapat pada diri seorang muslim, sedangkan orang muslim
itu tidak suka bila hal itu disebutkan.
Seorang
ulama yang menggugah jiwa lewat tulisan-tulisannya, Imam Al-Ghazali
mengungkapkan, ghibahtidak hanya pengungkapan aib seseorang yang
dilakukan secara lisan. Tetapi juga termasuk pengungkapan dengan melalui
perbuatan, misalnya dengan isyarat tangan, isyarat mata, tulisan,
gerakan dan seluruh yang dapat dipahami maksudnya.
Menurut
Imam Al-Ghazali, aib seseorang yang diungkapkan itu meliputi berbagai
hal, seperti kekurangan pada badannya, pada keturunannya, pada
akhlaknya, pada pebuatannya, pada ucapannya, pada agamanya, termasuk
pada pakaian, tempat tinggal dan kendaraannya.
Demikian
banyak hal yang dapat menjadi obyek pengungkapan tentang kekurangan
diri seseorang, sehingga seorang muslim, sadar atau tidak sadar
memungkinkan dirinya sangat mudah terjerumus dalam ghibah ini, bila
tidak berhati-hati dan tidak pula mewaspadainya.
Bagaimana
tidak? Seperti makan daging? Sementara yang digunjing tidak mampu
menjawabnya, karena tidak ada di tempat gunjingan. Benar-benar seperti
daging mati, tidak mampu membalasnya, memberikan penjelasan, alasan, dan
argumen, yang memungkinkan adanya penjelasan seimbang dengan
gunjingannya itu.
Seorang ulama
hafidz Al-Quran yang juga ahli tafsir dan hadits, Ibnul Qayyim
Al-Jauziyah menjelaskan, tentang Surat Al-Hujurat ayat 12 yang artinya,
“Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging (bangkai)
saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kalian merasa jijik
kepadanya.” Ayat ini merupakan gambaran betapa ghibah bagaikan
mencabik-cabik orang dari belakang tanpa sempat orang tersebut
membelanya. Karena tak dapat membela itulah maka diibaratkan orang mati,
yang hanya bisa diam saja sekalipun dirobek-robek.
Masih
menurut Ibnul Qayyim, menikmati ghibah sama seperti makan sekerat
daging, memang enak rasanya hingga susah menghentikannya. Namun, mereka
tidak mengetahui bahwa daging itu sudah basi alias telah menjadi
bangkai.
Bahaya Ghibah
Peringatan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tentang larangan berbuat ghibah
dalam kehidupan, karena dapat merusak hubungan persaudaraan sesama
muslim (ukhuwah islamiyah). Sebab sesama muslimin justru diwajibkan
saling bersaudara, saling menghargai, dan saling menguatkan.
Di
dalam sebuah riwayat disebutkan, dari ‘Aisyah, isteri Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Aisyah berkata: Aku berkata kepada Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Cukuplah bagimu Shafiyah (isteri lain
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam) yang begini dan begitu.
(Maksudnya menggunjing Shafiyah adalah pendek). Lantas Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengingatkan,
لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
Artinya : “Engkau telah mengucapkan suatu hal, seandainya ucapan itu dicelupkan ke dalam laut niscaya akan mengotorinya". (Hadits Shahih riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Syaikh Salim
bin ‘Id Al-Hilali menjelaskan hadits tersebut, bahwa air lautu pun dapat
berubah rasa dan aromanya disebabkan betapa busuk dan kotornya perbutan
ghibah. Hal ini menunjukkan suatu peringatan keras dari perbuatan
tersebut.
Di dalam Kitab Sunan
At-Tirmidzi terdapat suatu riwayat yang menyebutkan hadits dari Ibnu
‘Umar, beliau berkata :Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam naik
mimbar dan menyeru dengan suara yang lantang :
يَا
مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانَهِ وَلَمْ يَفْضِ الإِيْمَانُ إِلَى
قَلْبِهِ لاَ تُؤْذُوا المُسْلِمِيْنَ وَلاَ تُعَيِّرُوا وَلاَ تَتَّبِعُوا
عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ يَتَّبِعْ عَوْرَةَ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ
تَتَّبَعَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبَعِ اللهُ يَفْضَحْهُ لَهُ وَلَو
في جَوْفِ رَحْلِهِ
Artinya : “Wahai segenap manusia yang masih beriman dengan lisannya, namun iman itu belum meresap ke dalam hatinya, janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, dan janganlah kalian melecehkan mereka, dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan-kesalahan mereka. Karena sesungguhnya barangsiapa yang sengaja mencari-cari kejelekan saudaranya sesama muslim maka Allah akan mengorek-ngorek kesalahan-kesalahannya. Dan barang siapa yang dikorek-korek kesalahannya oleh Allah maka pasti dihinakan, meskipun dia berada di dalam bilik rumahnya.”
Begitu besar dosa menggunjing, sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diperlihatkan balasannya kelak di akhirat.
لَمَّا
عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُوْنَ
وُجُوْهَهُمْ وَصُدُوْرَهُمْ ، فَقُلْتُ مَنْ هؤُلاَءِ يَاجِبْرِيْلُ؟
قَالَ : هؤُلاَءِ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسِ وَيَقَعُوْنَ
فِي أَعْرَاضِهِمْ
Artinya : “Ketika aku mi’raj (naik di langit), aku melewati suatu kaum yang kuku-kukunya dari tembaga dalam keadaan mencakar wajah-wajah dan dada-dadanya. Lalu aku bertanya: “Siapakah mereka itu wahai malaikat Jibril?” Malaikat Jibril menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia dan merusak kehormatannya.” (H.R. Abu Dawud no. 4878 dan lainnya dari Anas bin Malik).
Membicarakan Orang Lain yang Dibolehkan
Imam Nawawi di dalam Kitab Syarah Nawawi fi Shahih Muslim
menjelaskan bahwa membicarakan orang lain yang dibolehkan adalah karena
adanya tujuan yang dibenarkan syariat, yang tidak mungkin tujuan itu
tercapai kecuali dengan menempuh cara ini.
Pertama,
saat mengadukan kezaliman orang kepada pimpinan (ulil amri), hakim
dalam persidangan, atau siapa saja yang mempunyai wewenang dan diberi
kewenangan untuk menanganinya.
Kedua,
untuk meminta bantuan orang lain atau mengadukan (seperti ulama, kyai,
ustadz,) demi mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat agar
kembali kepada kebenaran. Tujuan di balik pengaduan itu adalah demi
menghilangkan kemungkaran. Tetapi kalau dia tidak bermaksud demikian,
maka hukumnya tetap haram membicarakannya.
Ketiga,
untuk meminta fatwa kepada orang ‘alim atau sholih atas kelakuan
seseorang terhadap dirinya. Penyampaiannya pun, untuk kehati-hatian
mengindarkan aib itu menyebar, dengan kalimat santun, seperti,
“Bagaimana pendapat Anda terhadap orang yang melakukan perbuatan
demikian dan demikian (tanpa menyebut namanya)?”.
Keempat, untuk memperingatkan kaum muslimin dari kejahatan sebagian orang dan dalam rangka menasihati mereka.
Kelima,
menyebutkan kejahatan pelaku maksiat yang berterang-terangan dalam
melakukan dosa, seperti orang yang merampas harta secara paksa, dengan
syarat kejelekan yang disebutkan adalah yang terkait dengan
kemaksiatannya tersebut dan bukan yang lainnya.
Keenam,
untuk memperkenalkan jati diri seseorang, contohnya : “Mohon maaf
orangnya yang pincang itu,….”. Akan tetapi hal ini diharamkan apabila
diucapkan dalam konteks penghinaan atau melecehkan. Seandainya ada
ungkapan lain yang bisa dipakai untuk memperkenalkannya maka itulah yang
lebih utama.
Terapi Ghibah
Subhanallah,
indahnya ukhuwah Islamiyyah, janganlah sampai tercabik-cabik gara-gara
dosa lidah ini. Di akhirat pun, akan sangat disayangkan, menambah dosa,
sementara pahala kita belum tentu seberapa yang Allah terima.
Ukhuwah
islamiyah bisa rusak disebabkan oleh perbuatan lidah dalam bentuk
ghibah. Ghibah akan menyebabkan ketegangan hubungan, baik dari yang
menggunjing maupun pada yang digunjing. Kalau tidak segera ditutup, bisa
merembet kepada hal yang lebih besar lagi, yakni permusuhan terselubung
atau bahkan permusuhan terang-terangan. Na’udzubillahi min dzalik.
Untuk itu, agar terhindar dari azab kubur karena ghibah, ada beberapa terapi mengatasinya. Pertama, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengarahkan agar orang beriman gemar berbicara yang baik atau lebih baik diam.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أًوْ لِيَصْمُتْ
Artinya : “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam”. (Hadits Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
Kedua, melakukan klarifikasi (tabayyun) bila ditemukan pembicaraan ghibah yang dapat merembet ke fitnah memecah belah umat.
Allah Ta’ala memperingatkan kita di dalam Al-Quran :
يَـٰٓأَيُّہَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٍ۬ فَتَبَيَّنُوٓاْ
أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَـٰلَةٍ۬ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا
فَعَلۡتُمۡ نَـٰدِمِينَ
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” ((Al-Quran Surat Al-Hujurat [49] ayat 6).
Ketiga,
memberi nasihat bila ditemukan kesalahan orang lain, bukan malah
membicarakan di belakang, atau membicarakannya beramai-ramai dengan
orang banyak agar kesalahan dan aibnya itu semakin meluas dan menyebar.
اَلدِّيْنُ
النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ،
قَالُوْا: لِمَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: ِللهِ، وَلِكِتَابِهِ،
وَلِرَسُوْلِهِ، وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ أَوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ،
وَعَامَّتِهِمْ.
Artinya : “Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat”. Mereka (para sahabat) bertanya,"Untuk siapa, wahai Rasulullah?" Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, "Untuk Allah, dan untuk Kitab-Nya, dan untuk Rasul-Nya, dan untuk Imaamul Muslimin atau mukminin, dan bagi kaum muslimin pada umumnya.” (Hadits Shahih Riwayat Muslim dari Abi Ruqayyah, Tamim bin Aus ad-Dâri Radhiyallahu ‘Anhu).
Imam
al-Khaththabi menjelaskan, “Nasihat ialah kata-kata yang menjelaskan
sejumlah hal, yang menginginkan adanya kebaikan pada orang yang diberi
nasihat.
Begitu inginnya agar
saudaranya sesama muslim itu menjadi baik, sampai-sampai kalau ada cela
atau kekurangannya, maka nasihatilah ia ketika ia sendirian, tidak di
depan orang lain apalagi orang banyak.
Seperti
nasihat Imam Abu Muhammad bin Ahmad bin Sa’id Ibnu Hazm yang
mengatakan, "Maka wajib bagi seseorang untuk selalu memberikan nasihat
kepada saudaranya, baik yang diberi nasihat itu suka maupun benci,
tersinggung maupun tidak tersinggung. Akan tetapi, apabila engkau hendak
memberikan nasihat, maka sampaikanlah secara rahasia, langsung kepada
yang bersangkutan, janganlah di hadapan orang lain. Akan tetapi juga,
janganlah memberikan nasihat dengan syarat harus diterima. Sebab,
pelaksanaannya kembali kepada orang yang bersangkutan, dan tanggung
jawabnya kepada Allah., Tanggung jawab kita memberikan nasihat sudah
tunai. Sebab, jika engkau memaksanya, berarti engkau adalah orang yang
zalim, bukan pemberi nasihat, dan engkau adalah orang yang gila untuk
ditaati, gila kekuasaan, bukan pelaksana hak ukhuwah Islamiyah. Hal ini
bukan untuk mempererat persahabatan, melainkan hanya menegakkan hukum
rimba seperti seorang penguasa dengan rakyatnya, dan tuan dengan hamba
sahayanya.”
Keempat, memperbanyak istighfar dan dzikrullah. Istighfar dan dzikrullah itu ibarat obat penyakit, sementara ghibah adalah pantangannya.
Memintakan
maaf dan ridhanya terhadap orang yang pernah digunjingnya, dengan
bersamalan, saling mengucapkan salam, hilangkan dendam, tumbuhkan
ruhamaa, kasih sayang. Sehingga tumbuh persaudaraan dan kekuataan
bersama. Itulah hakikat berjama’ah, saling melengkapi. Sebab semua kita
punya kelemahan dan kekurangan.
Mengenai
terapi ghibah ini, seorang ulama Imam An-Nawawi di dalam Kitab
Al-Adzkar mengatakan, “Ketahuilah, hal yang seharusnya dilakukan
seseorang yang mendengar seorang muslim dipergunjingkan, maka hendaklah
dia mencegah dan menghentikan pembicaraan itu. Andaikan orang yang
menggunjing itu tidak mau berhenti setelah diingatkan dengan kata-kata,
maka hendaklah diingatkan dengan tangan. Seandainya orang yang mendengar
ghibah tadi tidak mampu mengingatkan dengan tangan maupun dengan lisan,
maka hendaklah dia meninggalkan tempat itu”.
Begitulah
Allah memerintahkan muslimin untuk berjama’ah saling bersaudara karena
Allah, jauhi persengketaan. Seperti firman-Nya :
وَٱعۡتَصِمُواْ
بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعً۬ا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ وَٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتَ
ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ إِذۡ كُنتُمۡ أَعۡدَآءً۬ فَأَلَّفَ بَيۡنَ قُلُوبِكُمۡ
فَأَصۡبَحۡتُم بِنِعۡمَتِهِۦۤ إِخۡوَٲنً۬ا وَكُنتُمۡ عَلَىٰ شَفَا
حُفۡرَةٍ۬ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنۡہَاۗ كَذَٲلِكَ يُبَيِّنُ
ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَـٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَہۡتَدُونَ
Artinya
: “Dan berpegang teguhlah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah
seraya berjama’ah dan janganlah kalian bercerai berai, dan ingatlah akan
nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (masa Jahiliyah)
bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hati kalian, lalu menjadilah
kalian karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kalian telah
berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian
daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian,
agar kalian mendapat petunjuk”. (Al-Quran Surat Ali Imran ayat 103).
Di dalam sebuah hadits shahih dijelaskan :
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ
تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا
عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ
وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى
صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ
أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ
وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
Artinya : Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, bersabda Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam, “Janganlah saling menghasud, janganlah saling mengecuh,
janganlah saling membenci, janganlah saling membelakangi, janganlah
sebagian kamu menjual atas jualan sebagian yang lain, jadilah kalian
hamba-hamba Allah yang bersaudara. Muslim yang satu adalah saudara
muslim yang lain, ia tidak boleh menzaliminya juga tidak boleh
merendahkannya dan juga tidak boleh menghinanya. Taqwa itu di sini
-beliau sambil berisyarat pada dadanya 3 kali-, cukuplah seseorang
(dikatakan) berbuat jahat jika ia merendahkan saudaranya yang muslim.
Setiap muslim atas muslim yang lain haram (terpelihara) darahnya,
hartanya dan kehormatannya. (HR Muslim).
Pertikaian,
perselisihan, pertengkaran, saling menjauh akibat gunjingan, hanyalah
menyebabkan ketidakbaikan, jarak dalam hati, dan melemahkan perjuangan.
Allah mengingatkan hamba-hamba-Nya yang tha’at kepada-Nya di dalam firman-Nya :
وَأَطِيعُواْ
ٱللَّهَ وَرَسُولَهُ ۥ وَلَا تَنَـٰزَعُواْ فَتَفۡشَلُواْ وَتَذۡهَبَ
رِيحُكُمۡۖ وَٱصۡبِرُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّـٰبِرِينَ
Artinya
: “Dan tha’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang
kekuatan kalian dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang
yang sabar. (Al-Quran Surat Al-Anfal ayat 46).
Di
dalam kehidupan berjama’ah, di dalam jama’ah muslimin, kita sangat
mendambakan tumbuhnya rahmat, kasih sayang, dan persaudaraan. Sehingga
kita merasa di dalam rumah kaum muslimin. Seperti yang dikehendaki di
dalam hadits :
اَلْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَ اْلفُرْقَةُ عَذَابٌ
Artinya
: "Berjama’ah itu kasih sayang dan berpecah-belah itu siksa.” (Hadits
Riwayat Ahmad dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘Anhu).
Penutup dan Doa
Semoga
kita dapat tetap menjaga keutuhan ukhuwah Islamiyah, dengan cara
memperhatikan dan mewaspadai bahaya ghibah (menggunjing) yang dapat
merenggangkan persaudaraan yang dibina karena Allah. Kepada Allah kita
bartaubat memohon petunjuk-Nya. Amin
رَبَّنَا
اغْفِرْ لَنَا وَ لِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْإِيْمَانِ
وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِيْنَ آمَنُوْا، رَبَّنَا
إِنَّكَ رَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ
Artinya :
“Wahai Tuhan kami! Ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah
mendahului kami dengan iman, dan jangalah Kau tanamkan di dalam hati
kami kedengkian terhadap orang-orang yang beriman. Wahai Tuhan kami!
Sesungguhnya Engkau Mahakasih dan Maha Penyayang.” (Al-Quran Surat
Al-Hasyr ayat 10).
رَبِّ
اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي، وَجَهْلِي وَإِسْرَافِي فِي أَمْرِي كُلِّهِ،
وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي خَطَايَايَ،
وَعَمْدِي، وَجَهْلِي، وَهَزْلِي وَكُلُّ ذَلِكَ عِنْدِي، اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ، وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ، وَمَا
أَعْلَنْتُ، أَنْتَ الْمُقَدِّمُ، وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ، وَأَنْتَ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ “
Artinya : “Ya
Allah ampunilah dosa-dosaku, ketidaktahuanku, semua perbuatan burukku
dan kesalahan lain yang lebih Engkau ketahui. Ya Allah, ampunilah
dosa-dosa yang sengaja aku perbuat atau tidak disengaja, dan
ketidakseriusanku. Ya Allah, ampunilah perbuatan yang aku lakukan dan
yang aku tinggalkan yang aku sembunyikan dan yang aku perlihatkan,
Engkau Yang Pertama dan Engkau Yang Terakhir, dan Engkau Maha Kuasa atas
segala sesuatu.” (Hadits Shahih Riwayat Bukhari). (R1/R2).
*Penulis, Redaktur Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj News Agency), Da’i Pesantren Al-Fatah Bogor, Indonesia.
http://mirajnews.com/id/artikel/tausiyah/4758-bahaya-menggunjing-terhadap-persaudaraan-sesama-muslim.html
Thanks info artikelnya bos,...
BalasHapusThanks artikelnya
BalasHapusYa allah kuatkan iman ku pelihara amal ibadah ku,jng biarkan amal & pahalaku terkikis oleh sifat & perbuatan yg tak di ridhoi mu.. Lahaola wala quwwata illa billah..Amin
BalasHapusYa allah kuatkan iman ku pelihara amal ibadah ku,jng biarkan amal & pahalaku terkikis oleh sifat & perbuatan yg tak di ridhoi mu.. Lahaola wala quwwata illa billah..Amin
BalasHapus